Sabtu, 02 Juni 2012

Obesitas pada Anak [Usia Sekolah Dasar]

Obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di dunia dan negara Indonesia akhir-akhir ini. Lebih dari sembilan juta anak di dunia berusia 6 tahun ke atas mengalami obesitas, hingga kini angkanya terus melonjak dua kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga kali lipat pada anak usia 6-12 tahun. Obesitas yang terjadi pada anak-anak saat ini telah menjadi momok bagi masyarakat. Diperkirakan pada tahun 2020, anak yang menderita obesitas pada usia 7 tahun sampai 15 tahun mencapai 65 persen. Obesitas kian menjadi masalah di berbagai belahan dunia. Anak dikatakan obesitas jika berat badannya 40 persen lebih tinggi dari berat badan ideal dan overweight jika berat badannya lebih tinggi 20 persen dari berat badan idealnya.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥15 tahun adalah 10,3% terdiri dari (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia 5-17 tahun. Dari penelitian Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di empat belas kota besar di Indonesia, diperkirakan angka kejadian kegemukan pada anak tergolong relatif tinggi, antara 10-20% dari total populasi anak-anak Indonesia yang berumur 6-12 tahun dengan nilai yang terus bertambah hingga sekarang. Jakarta adalah salah satu kota yang memiliki tingkat kegemukan/ obesitas pada anak yang relatif tinggi, yaitu 9,6%-20%. Menurut penelitian DR. Dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) dari FKUI/RSCM bersama koleganya pada tahun 2002 melakukan penelitian di 10 kota-kota besar hasilnya memperlihatkan prevalensi obesitas pada anak Jakarta sebesar 25 persen (Farmacia, 2007).
Masalah obesitas pada anak adalah masalah yang kompleks. Banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak. Ali Khomsan mengatakan bahwa hereditas (keturunan) menjadi salah satu faktor penyebab obesitas. Peluang seorang anak mengalami obesitas adalah 10% meskipun bobot badan orang tua termasuk dalam kategori normal. Bila salah satu orang tua obesitas peluangnya menjadi 40% dan bila kedua orang tuanya obesitas peluang anak meningkat sebesar 80% (Ali Khomsan, 2003:90 dalam Wijayanti, 2007). Selain itu salah satu faktor yang berkontribusi pada kejadian obesitas pada anak adalah kurangnya aktivitas fisik. Kegiatan yang berkaitan erat dengan faktor kurang aktivitas fisik adalah lama waktu tidur. Apabila waktu tidur melebihi 8 jam maka dapat berisiko terjadinya obesitas. Olahraga juga merupakan faktor penting pada kegiatan fisik anak. Anak yang kurang berolahraga atau tidak aktif sering kali menderita kegemukan atau kelebihan berat badan yang dapat mengganggu gerak dan kesehatan anak.
Terjadinya obesitas pada anak juga sering dihubungkan dengan perubahan gaya hidup dan pola makan. Hal ini seiring dengan perkembangan zaman yang menuntun anak-anak lebih cenderung senang dengan makanan di luar rumah. Masih banyak faktor lain yang berperan dalam kejadian obesitas pada anak. Anak usia sekolah dasar memiliki karakteristik yang unik. Perkembangan fisik atau jasmani, bahasa, intelektual dan emosional sangat bergantung pada faktor-faktor dari luar. Semakin maraknya restoran makanan junkfood (cepat saji) yang beredar di kota-kota besar disertai minimnya aktivitas anak dalam keseharian, mempengaruhi gaya hidup anak-anak, terutama di perkotaan. Gaya hidup yang cenderung tidak sehat itu mengakibatkan anak-anak berpontesi mengalami obesitas. Anggapan orang tua yang masih keliru bahwa anak yang lucu harus ditandai dengan bobot tubuh yang gemuk juga mengakibatkan obesitas pada anak rentan terjadi. Orangtua cenderung kurang teliti dan waspada dalam megawasi asupan makanan dan gizi pada anaknya. Perkembangan fisik atau jasmani anak berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain. 
Obesitas yang terjadi pada masa anak ataupun remaja memiliki risiko tinggi terhadap angka kesakitan berbagai macam penyakit sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Suatu studi yang pernah dilakukan menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan kadar gula darah puasa, insulin, dan trigliserida serta peningkatan prevalensi gangguan toleransi glukosa dan hypertensi systolik pada anak yang mengalami obesitas (BMI ≥ 95th percentile)  ( Spear, et al, 2007). Sejumlah studi menyimpulkan, anak-anak yang kelebihan berat badan sejak usia kurang dari 10 tahun akan menghadapi ancaman stroke pada usia 40 bahkan bisa dimulai sejak usia 30. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam “American Journal of Clinical Nutrition” juga kian menguatkan konsekuensi kesehatan yang bakal dialami terkait obesitas anak. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 172 anak tersebut menyimpulkan, anak usia delapan tahun yang kegemukan atau obesitas, menunjukkan sejumlah tanda atau gejala terkait faktor risiko penyakit jantung saat mereka mencapai usia remaja (15 tahun). Risiko tersebut antara lain tekanan darah tinggi, kadar kolesterol yang buruk, peningkatan kadar gula darah dan insulin (hormon pengatur kadar gula darah).
Tingginya angka obesitas dikalangan anak sekolah disebabkan oleh faktor pola makan yang salah dan rendahnya aktivitas fisik mereka. Pola makan yang salah sebagai akibat dari perilaku pemberian makan dari orang tua yang salah dan tidak tersedianya jajanan sehat di sekolah. Kecenderungan untuk menyukai makanan tertentu pada seorang anak dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti apakah anak pada masa bayinya mendapatkan ASI atau PASI, bagaimana pola makan orang tua sehari-hari, apakah ada predisposisi genetik untuk memilih makanan tertentu; faktor sosial, pola aktivitas, dan faktor lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kebiasaan makan anak (Birch dan Fisher, 1998). Ketersediaan jajanan yang ada di sekolah umumnya makanan yang memiliki kadar gizi yang rendah, yang cenderung hanya tinggi karbohidrat saja, karena jenis makanan seperti ini yang paling banyak disukai anak-anak. Dari hasil survei pedagang jajanan di sekolah, dijumpai 80% makanan yang dijual berbahan dasar karbohidrat saja.
Rendahnya aktivitas fisik dikalangan anak sekolah disebabkan karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain ketiadaan sarana aktivitas fisik yang memadai di sekolah. Sekolah banyak yang lebih mengutamakan sarana pembelajaran yang mendukung aspek kognitif siswa saja dan kurang memperhatikan bagi perkembangan aspek fisik dari anak. 50% sekolah yang disurvei tidak menyediakan sarana aktivitas fisik bagi siswa. Disamping itu kurikulum sekolah yang kurang memfasilitasi bagi perkembangan aspek fisik anak juga turut menjadi faktor penyebab rendahnya aktivias fisik dikalangan siswa. 60% sekolah hanya menyediakan waktu 2 jam tiap minggu untuk kegiatan oleh raga.
Dampak lansung obesitas yang terjadi pada masa anak akan mengakibatkan hiperlipidemia, peningkatan atherosklerosis secara dini, resistensi insulin yang menjadi dasar bagi terjadinya DM pada saat dewasa. Disamping itu obesitas juga berdampak pada peningkatan inflamasi. Kesemuanya itu menyebabkan tingginya angka kesakitan dan bahkan dapat berujung pada kematian. Selain penjelasan hal tersebut, dampak lain yang akan dialami anak adalah terjadinya gangguan perkembangan fisik dan mental anak. Gangguan fisik dan mental anak akan berlanjut hingga dewasanya dan menyebabkan rendahnya daya saing dalam kehidupan dan akan berujung pada rendahnya tingkat sosial ekonominya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar