Obesitas pada anak telah menjadi
masalah yang serius di dunia dan negara Indonesia akhir-akhir ini. Lebih dari
sembilan juta anak di dunia berusia 6 tahun ke atas mengalami obesitas, hingga
kini angkanya terus melonjak dua kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia
12-19 tahun, bahkan meningkat tiga kali lipat pada anak usia 6-12 tahun. Obesitas
yang terjadi pada anak-anak saat ini telah menjadi momok bagi masyarakat. Diperkirakan
pada tahun 2020, anak yang menderita obesitas pada usia 7 tahun sampai 15 tahun
mencapai 65 persen. Obesitas kian menjadi masalah di berbagai belahan dunia. Anak
dikatakan obesitas jika berat badannya 40 persen lebih tinggi dari berat badan
ideal dan overweight jika berat badannya lebih tinggi 20 persen dari berat
badan idealnya.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi
nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥15 tahun adalah 10,3% terdiri
dari (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat badan
berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%.
Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia 5-17 tahun. Dari
penelitian Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di empat belas kota besar di
Indonesia, diperkirakan angka kejadian kegemukan pada anak tergolong relatif
tinggi, antara 10-20% dari total populasi anak-anak Indonesia yang berumur 6-12
tahun dengan nilai yang terus bertambah hingga sekarang. Jakarta adalah salah
satu kota yang memiliki tingkat kegemukan/ obesitas pada anak yang relatif
tinggi, yaitu 9,6%-20%. Menurut penelitian DR. Dr.
Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) dari FKUI/RSCM bersama koleganya pada tahun 2002
melakukan penelitian di 10 kota-kota besar hasilnya memperlihatkan prevalensi
obesitas pada anak Jakarta sebesar 25 persen (Farmacia, 2007).
Masalah obesitas pada anak adalah masalah yang kompleks. Banyak faktor yang
berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak. Ali Khomsan mengatakan bahwa
hereditas (keturunan) menjadi salah satu faktor penyebab obesitas. Peluang
seorang anak mengalami obesitas adalah 10% meskipun bobot badan orang tua
termasuk dalam kategori normal. Bila salah satu orang tua obesitas peluangnya
menjadi 40% dan bila kedua orang tuanya obesitas peluang anak meningkat sebesar
80% (Ali Khomsan, 2003:90 dalam Wijayanti, 2007). Selain itu salah satu faktor
yang berkontribusi pada kejadian obesitas pada anak adalah kurangnya aktivitas
fisik. Kegiatan yang berkaitan erat dengan faktor kurang aktivitas fisik adalah
lama waktu tidur. Apabila waktu tidur melebihi 8 jam maka dapat berisiko
terjadinya obesitas. Olahraga juga merupakan faktor penting pada kegiatan fisik
anak. Anak yang kurang berolahraga atau tidak aktif sering kali menderita
kegemukan atau kelebihan berat badan yang dapat mengganggu gerak dan kesehatan
anak.
Terjadinya obesitas pada anak juga sering dihubungkan dengan perubahan
gaya hidup dan pola makan. Hal ini seiring dengan perkembangan zaman yang
menuntun anak-anak lebih cenderung senang dengan makanan di luar rumah. Masih
banyak faktor lain yang berperan dalam kejadian obesitas pada anak. Anak usia
sekolah dasar memiliki karakteristik yang unik. Perkembangan fisik atau
jasmani, bahasa, intelektual dan emosional sangat bergantung pada faktor-faktor
dari luar. Semakin maraknya restoran makanan
junkfood (cepat saji) yang beredar di kota-kota besar disertai minimnya
aktivitas anak dalam keseharian, mempengaruhi gaya hidup anak-anak, terutama di
perkotaan. Gaya hidup yang cenderung tidak sehat itu mengakibatkan anak-anak
berpontesi mengalami obesitas. Anggapan orang tua yang masih keliru bahwa anak
yang lucu harus ditandai dengan bobot tubuh yang gemuk juga mengakibatkan
obesitas pada anak rentan terjadi. Orangtua cenderung kurang teliti dan waspada
dalam megawasi asupan makanan dan gizi pada anaknya. Perkembangan fisik atau jasmani
anak berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama,
bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan
anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini antara
lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua terhadap anak,
kebiasaan hidup dan lain-lain.
Obesitas yang terjadi pada masa anak ataupun remaja
memiliki risiko tinggi terhadap angka kesakitan berbagai macam penyakit
sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Suatu studi yang pernah dilakukan
menunjukkan adanya peningkatan secara
signifikan kadar gula darah puasa, insulin, dan trigliserida serta peningkatan
prevalensi gangguan toleransi glukosa dan hypertensi systolik pada anak yang
mengalami obesitas (BMI ≥
95th percentile) ( Spear, et al, 2007). Sejumlah studi menyimpulkan, anak-anak yang
kelebihan berat badan sejak usia kurang dari 10 tahun akan menghadapi ancaman
stroke pada usia 40 bahkan bisa dimulai sejak usia 30. Penelitian
terbaru yang dipublikasikan dalam “American Journal of Clinical Nutrition” juga
kian menguatkan konsekuensi kesehatan yang bakal dialami terkait obesitas anak.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 172 anak tersebut menyimpulkan, anak
usia delapan tahun yang kegemukan atau obesitas, menunjukkan sejumlah tanda
atau gejala terkait faktor risiko penyakit jantung saat mereka mencapai usia
remaja (15 tahun). Risiko tersebut antara lain tekanan darah tinggi, kadar
kolesterol yang buruk, peningkatan kadar gula darah dan insulin (hormon
pengatur kadar gula darah).
Tingginya
angka obesitas dikalangan anak sekolah disebabkan oleh faktor pola makan yang
salah dan rendahnya aktivitas fisik mereka. Pola makan yang salah sebagai akibat dari perilaku
pemberian makan dari orang tua yang salah dan tidak tersedianya jajanan sehat
di sekolah. Kecenderungan untuk menyukai makanan tertentu pada seorang anak
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti apakah anak pada masa bayinya
mendapatkan ASI atau PASI, bagaimana pola makan orang tua sehari-hari, apakah
ada predisposisi genetik untuk memilih makanan tertentu; faktor sosial, pola
aktivitas, dan faktor lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempengaruhi kebiasaan makan anak (Birch dan Fisher, 1998). Ketersediaan
jajanan yang ada di sekolah umumnya makanan yang memiliki kadar gizi yang
rendah, yang cenderung hanya tinggi karbohidrat saja, karena jenis makanan
seperti ini yang paling banyak disukai anak-anak. Dari hasil survei pedagang
jajanan di sekolah, dijumpai 80% makanan yang dijual berbahan dasar karbohidrat
saja.
Rendahnya
aktivitas fisik dikalangan anak sekolah disebabkan karena beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut antara lain ketiadaan sarana aktivitas fisik yang
memadai di sekolah. Sekolah banyak yang lebih mengutamakan sarana pembelajaran
yang mendukung aspek kognitif siswa saja dan kurang memperhatikan bagi
perkembangan aspek fisik dari anak. 50% sekolah yang disurvei tidak menyediakan
sarana aktivitas fisik bagi siswa. Disamping itu kurikulum sekolah yang kurang
memfasilitasi bagi perkembangan aspek fisik anak juga turut menjadi faktor
penyebab rendahnya aktivias fisik dikalangan siswa. 60% sekolah hanya
menyediakan waktu 2 jam tiap minggu untuk kegiatan oleh raga.
Dampak
lansung obesitas yang terjadi pada masa anak akan mengakibatkan hiperlipidemia,
peningkatan atherosklerosis secara dini, resistensi insulin yang menjadi dasar
bagi terjadinya DM pada saat dewasa. Disamping itu obesitas juga berdampak pada
peningkatan inflamasi. Kesemuanya itu menyebabkan tingginya angka kesakitan dan
bahkan dapat berujung pada kematian. Selain penjelasan hal tersebut, dampak
lain yang akan dialami anak adalah terjadinya gangguan perkembangan fisik dan
mental anak. Gangguan fisik dan mental anak akan berlanjut hingga dewasanya dan
menyebabkan rendahnya daya saing dalam kehidupan dan akan berujung pada
rendahnya tingkat sosial ekonominya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar